Minggu, 29 Mei 2011

The Philosophy of Sex

Hari selasa kemarin, aku masuk kelasnya Pak Mudzakir mata kuliah Jinayat (Hukum Pidana Islam). Ya aku lumayan mengaguminya karena beliau adalah ahli Hukum Pidana terhebat yang pernah aku kenal kalau ngajar juga enak tuh dosen semangat banget, tapi emang dasarnya aku kalau lagi gak mood pasti jadi bengong sendiri di kelas mikirin apa aja yang bisa di pikirin. Setengah jam pertama bener-bener gak fokus sama yang di omongin Pak Mudzakir pikiran malah melamun sambil nahan laper, belum makan dari pagi sedangkan Jinayat matakuliah ke-3 “krukkkk” perut serasa bergelombang. 

Sampai pada Pak Mudzakir ber-intermezo menjelaskan tentang Filsafat seks, gara-gara ada mahasiswa yang bertanya tentang Hukum berzina, WHAT?? Filsafat seks?? Ini baru menarik!!! Langsung aku keluarin binder dengan pulpen bersiap mencatat dengan muka antusias (buset udah setengah jam lewat mata kuliah belum ngeluarin binder dan pulpen *jangan ditiru anak-anak*), aku suka yang berbau filsafat soalnya belum lama ini aku habis dua kali diskusi Filsafat berjam-jam dengan mahasiswa-mahasiwa super kritis di Komaka (belajar filsafat itu, mumet-mumet enakk haha). Sudah filsafat apalagi di tambah seks, wahh mantep nih, bahkan aku baru tau, ada juga ya filsafat seks.

Jadi gini yang di terangin Pak Mudzakir.

Filsafat seks di bagi menjadi 2 :

1.      1. Seks yang dilarang:

Seks di anggap keji, tidak bagus, haram dan lain lain, karena manusia suci tidak berhubungan seks dengan lawan jenisnya sama sekali seumur hidup.
Jika ingin menjadi manusia suci jangan sesekali berhubungan seks karena seks itu keji, haram.
Jika manusia sudah berhubungan seks akan di anggap menjadi manusia biasa, bukan manusia yang suci dan tak akan bisa menjadi manusia suci.
Contoh : Pendeta, Biarawati, Biksu dan lain lain

2.      2. Seks yang boleh, di bagi 2:

A. Seks untuk memenuhi kebutuhan (bebas)
Misalnya aku lapar dan ingin makan maka sudah menjadi kebutuhanku untuk makan tanpa aku merasa berdosa atau apapun karena aku di desak dengan kebutuhan hidupku, juga dengan minum dan lain-lain.
Begitu juga jika aku ingin berhubungan seks (red: Horny atau nafsu birahi), untuk memenuhi kebutuhan tubuhku aku akan melakukan hubungan seks dengan siapapun dan berapa kalipun, tanpa takut dosa atau apapun karena memenuhi kebutuhan bukanlah sesuatu yang tabu atau dilarang.

B. Seks tidak bebas
Boleh berhubungan seks namun di atur dengan pernikahan, sebelum menikah seks tidak boleh namun sesudah nikah seks menjadi boleh dan di atur ketentuannya lewat pernikahan.

****

Sayangnya hanya sebatas itu yang di ajarkan Pak Mudzakir, huh agak kecewa aku yakin pasti masih banyak penjelasan lebih jelas dan lebih utuh, tapi seengaknya udah dapet inti-intinya, ya wajar sih ini kan bukan mata kuliah Filsafat seks.

Okay dari penjelasan singkat ini akan sedikit ku uraikan menurut pemahamanku.

Seks yang dilarang, bagaimana mungkin seks di larang sama sekali seumur hidup? Coba bayangkan kalo semua orang mau jadi orang suci, punah sudah umat manusia, namun  aku yakin gak bakal terjadi dan hanya beberapa manusia yang benar-benar tidak berhubungan seks karena ingin menjadi orang suci.

Bukanya seks itu suatu kebutuhan ya? Bener juga yang filsafat seks sebagai kebutuhan, namun juga ada batas-batasnya, manusia kan di beri akal untuk berfikir, ya masa berhubungan seks di samain kayak makan? Ntar di pinggir jalan ada warung makan sebelahnya ada warung seks terang-terangan, orang-orang pada ngeseks di jalanan udah kayak makan di jalan hahaha, tapi coba aku berfikirkan dengan melepas agama yang aku yakini dan melepas semua norma-norma yang ada di masyarakat, mencoba menjadi Humanisme sekular yang murni, bukankah filsafat seks sebagai kebutuhan menjadi rasional.

Seks tidak bebas, seks menjadi boleh namun di atur dengan penikahan aku yakin kebanyakan orang memilih filsafat seks yang ini, ya mungkin filsafat seks yang ini yang bisa sejalan dengan norma-norma agama tapi apakah menjadi hal yang rasional ketika hubungan seks hanya di batasi dengan pernikahan? Memang apa bedanya sebelum menikah dan sesudah menikah? Bukankah pernikahan hanya ritual agama dan budaya (walau di jaman sekarang ini sudah di akui secara hukum) bagaimana kita dapat berbicara filsafat ketika pemikiran kita masih terpengaruh dogma agama?

Jika kalian berfikir pernikahan adalah kebudayaan manusia sejak dahulu, eittss pikirkan lagi, manusia primitif jika ingin melakukan hubungan seks ya mereka akan melakukan sesukanya asal suka sama suka aja, manusia modern yang belum mengenal agama pun akan melakukan hal yang serupa (pernah dengar cerita kota sodom dan gomorah ya itu lah contoh masyarakatnya), setelah agama samawi turun dimuka bumi baru pernikahan di atur di dalamnya, menurut teori Receptio in Complexu oleh Van Der Berg, kebudayaan suatu masyarakat pasti terpengaruh dengan agama yang di peluk masyarakat tersebut dan menjadi hukum adat di daerahnya, jadi berapa macam adat pernikahan di seluruh dunia pasti terpengaruh dengan agama yang di peluk masyarakat tersebut, secara tidak langsung pernikahan adalah dogma agama. Sekali lagi jika ku berfikir secara Humanis 
Sekular maka seks yang di atur dengan pernikahan menjadi tidak rasional kan?.

Yap, namun sebagai manusia yang beragama dan berbudaya luhur aku dapat memilih mana filsafat seks yang baik dan aku juga bukan penganut Humanis sekular loh,hahaha.
Aku hanya mencoba memikirkan dan mempertanyakan lagi, karena menurutku esensi dari filsafat adalah berfikir dan bertanya, jadi jangan takut untuk berfikir dan bertanya walau itu hal yang paling nakal sekalipun, mumpung belum ada RUU di Indonesia yang melarang kebebasan berfikir dan bertanya hahaha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...