"Berbagai macam majalah dan buku tertata ketemui disana, dua monitor dengan gagah menyambut siapa saja yang masuk ruang di balik lemari, karpet hangat terinjak tergeletak kasur tanpa sprei empuk dengan bantal yang memiliki berbagai macam noda ditutupi sajadah yang sudah beralih fungsi. Satu lagi bertambah rumah singgahku di kota yang katanya ramah."
Iseng saja, ku pandangi spanduk besar berwarna putih persegi di depanku. Nama-nama asing di kepalaku kubaca, dengan jabatan struktur di atas setiap nama. Awalnya, aku benar benar tak mengenal satupun nama yang terpampang di spanduk besar itu, kecuali nama Ivan Cahyo Purnomo yang mengemban tugas layoters di atas namanya, ya aku mengenalnya karena ia pernah satu kelas pada waktu aku semester satu. Tidak ada yang janggal saat ku melihat spanduk besar itu, selain bidang yang bernama Pengkaderan. Bagaimana aku tidak heran, organisasi persma kok mengurusi masalah manusia (kader) bukannya persma tak jauh dari tulis menulis?. Ahh sudahlah mungkin aku yang masih terlalu awam.
Di balik spanduk putih besar menempel dilemari terdengar suara riuh seperti beberapa orang sedang mengobrol besar. Tak lama keluar dari sela lemari menghadap kebelakang dari hadapanku, sesosok besar mengenakan jaket lusuh hijau tua, berambut kucel dengan senyum lebar khas, sedikit menyeramkan. Ia duduk di sebelah seorang yang selalu mencoba merapihkan rambut gondrongnya dengan tangan menghempas rambutnya ke atas, dengan logat jawa aneh terdengar di kupingku suaranya, di temani sesosok gondrong pula yang waktu itu aku yakin bahwa ia ber-etnis tionghoa. Saat itu aku sama sekali tidak mengenali nama ketiga orang yang duduk di hadapanku dan anak baru yang lainnya.
“Apa yang kalian ketahui tentang IHT?” pria besar dengan jaket lusuh hijau tua itu menanyakan pada kami, sedikit lama tak ada respon dari kami, reaksi yang menandakan kami tidak mengetahui apa-apa mengenai IHT, lalu dengan semangat pria besar itu menjelaskan pada kami panjang lebar mengenai IHT, setelah puas menjelaskan pada kami sumber suara berpindah ke mulut seorang yang kurasa ber-etnis tionghoa itu. Ia turut menambahkan penjelasan pada kami mengenai IHT lalu entah mengapa melebar mengenai kebebasan beragama. Tanya jawabpun terjadi diantara kami, sesekali dengan polos diantara kami menanyakan kembali mengenai IHT yang jawabannya sudah sempat di jelaskan sedikit geram terpancar dari seorang di antara tiga. Tak terasa sinar matahari mulai meredup, aku meninggalkan ruangan yang untuk pertama kalinya aku masuki. Ruangan yang tetap ku datangi walau merapi sedang mengemuruh dan mengeluarkan abunya dan kutahu ruangan itu bernama kantor LPM Keadilan.
Kesan awal ku dapatkan di sana. Memang tak terlalu tampak namun, aku yakin akan berkesan seiring berjalannya waktu. Mencoba untuk mengikuti semua kegiatannya, menerima semua kritik dan wejangan darinya dan mengenal satu persatu diantaranya semua ku jalani disana berharap sesuatu pengalaman dan pembelajaran berharga kudapatkan. Berbagai macam karakter seseorang ku temui disana dan sepertinya tak akan kutemukan di tempat lain. Tanpa tersadar aku ikut nongkrong sampai sepertiga malam dengan mereka yang awalnya terasa asing namun, ku dapati sedikit demi sedikit makna dari obrolan mereka dan tak tersadar hampir setiap malam harus memangkas waktu tidurku untuk meluangkan waktu dan berbincang-bincang bersama mereka.
Nama-nama asing yang tercetak jelas dalam spanduk besar perlahan lahan berubah menjadi tidak asing. Aku mulai mengenal satu per satu di antaranya, dan yang tak kalah penting sekarang aku telah mengatahui mengapa bidang pengkaderan harus ada dalam organisasi persma sangat penting perannya. Seiring berjalannya waktu pintu hijau itupun sering ku buka tutup. Berbagai macam majalah dan buku tertata ketemui disana, dua monitor dengan gagah menyambut siapa saja yang masuk ruang di balik lemari, karpet hangat terinjak tergeletak kasur tanpa sprei empuk dengan bantal yang memiliki berbagai macam noda ditutupi sajadah yang sudah beralih fungsi. Tempat ini mulai nyaman ku datangi, satu lagi bertambah rumah singgahku di kota yang katanya ramah.
Pengalaman memang guru terbaik namun sayang aku tak dapat mengendalikannya. Mungkin akan lebih banyak pengalaman yang akan aku lewati disana entah baik atau buruk. Pengalaman memang tak lebih dari sebuah kesan yang dapat diambil seseorang melalui sebuah momen namun, dengan mengingat pengalaman baik kembali, setidaknya akan membuat kita melihat kearah atas dan tanpa tersadar bibir akan meringis tersenyum sendiri bahagia.
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar